Gambar 1. PNRI KBG 185 Panji (juga dikenal di Palembang dengan nama Hikayat Candra Kirana), folio 1r, pernyataan kepemilikan.

Ke mana perginya manuskrip Kraton Palembang? Jejak koleksi istana di perpustakaan persewaan naskah

oleh Alan Darmawan

Dalam laporannya yang sinis mengenai kota sungai Palembang dan pemerintahan kesultanan, Beschrijving van de Hoofdplaats van Palembang, Komisaris Belanda J.J. van Sevenhoven mengakui bahwa Sultan Mahmud Badaruddin adalah pengecualian dari segi literasi. Ia menyatakan bahwa Sultan Mahmud “had eene vrij uitgestrekte bibliotheek” (1823: 80), atau mempunyai sebuah perpustakaan yang luas. Dari sudut pandangan seorang Eropa, “bibliothek” boleh jadi menyiratkan makna rumah buku, atau ruang untuk menyimpan sebuah koleksi buku yang besar. Sayangnya Van Sevenhoven tidak memerikan keadaan fisik perpustakaan istana atau apa yang dikandung dalam koleksinya. Perpustakaan itu sendiri agaknya telah kosong ketika komisaris tersebut mendapatinya. Hanya setelah memburu harta sultan di seluruh kota Palembang, ia menemukan 55 manuskrip, yang ia rampas dan kirimkan ke Batavia. Beberapa dari manuskrip ini dipindahkan ke Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschappen (KBG) pada tahun 1822, dan saat ini disimpan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Manuskrip yang lain dari koleksi istana yang dirampas ketika serangan tentara Inggris terhadap Kesultanan Palembang pada tahun 1812, kemudian jatuh ke tangan Thomas Stamford Raffles dan Willam Marsden, yang berujung masing-masing pada perpustakaan Royal Asiatic Society di London dan SOAS University of London. Namun, selebihnya menyebar ke berbagai institusi.

Akan tetapi, adakah naskah yang masih berada di Palembang? Dan kalau ada, apa yang terjadi terhadap naskah-naskah ini? Dokumentasi dan digitalisasi oleh DREAMSEA dan EAP baru-baru ini memperlihatkan bahwa banyak manuskrip yang saat ini dimiliki oleh keturunan keluarga diraja Palembang dan cendikiawan Muslim. Namun boleh jadi, yang paling membangkitkan rasa penasaran ialah perjalanan naskah yang keluar dari perpustakaan istana ke tangan orang biasa (non-elit), termasuk ke perpustakaan persewaan naskah tempatan. Perpustakaan macam ini berkembang di Palembang pada akhir kurun ke-19 hingga awal kurun ke-20, sebagaimana dibahas oleh Ulrich Kratz (1980, 1977).

Sebuah manuskrip di PNRI, KBG 185, merekam perjalanan koleksi istana Palembang yang keluar dari kraton menuju perpustakaan persewaan naskah tempatan, yang kemudian berakhir di KBG yang diperoleh pada tahun 1880-an “dari seorang komisaris Belanda di Palembang” (Drewes 1977: 203). Manuskrip ini berisi sebuah cerita Panji berbahasa Jawa Timur dan disalin pada tahun 1801 atas suruhan dari seorang Pangeran di Kesultanan Palembang, adik dari Sultan Mahmud Badaruddin, yakni Pangeran Adi Menggala. Sebuah catatan di dalam manuskrip KBG 185 berbunyi “Alamat surat Pangeran Adi Menggala ibni Sultan Muhammad Baha’uddin fi balad Palembang Darussalam.” Pemilik buku ini juga dikenal sebagai Pangeran Adipati, salah satu anak Sultan Palembang, yang kemudian memerintah dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin. Pergantian kepemilikan dapat dilihat dari upaya untuk menghapus tanda kepemilikan tersebut dengan tinta hitam (Gambar 1).

Catatan yang lain pada dua halaman terakhir dari manuskrip ini menunjukkan tulisan tangan pemilik naskah yang berikut (hlm. 352-353). Pemilik in nampaknya meminjamkan naskahnya kepada pembaca, sebagaimana catatan tersebut menguraikan aturan peminjaman. Dalam bentuk syair Melayu, tata tertib itu memperingatkan pembaca untuk menggunakan buku ini dengan sangat hati-hati: tidak boleh dibaca dekat pelita, jangan dilipat halamannya, tidak boleh menyelipkan daun sirih yang basah di dalamnya, jangan dikoyakkan kertasnya, dan kembalikan setelah empat hari paling lama. Penulis catatan ini menjelaskan bahwa hal ini disebabkan kertas Belanda mahal harganya, dan meminta peminjam agar jangan menganggap remeh hal demikian karena bisa menyebabkan murka dan kemarahan dari pemilik buku. Berikut ini adalah kutipan catatan tersebut.

Jikalau tak hendak beroleh nista
Tuan hematkan nyata2
Jangan dilipat jangan dipata
Jangan dibaca dakat pelita1

Sebab demikian kami berkata
Bukannya sayang kepada harta
Jika tertituk minyak pelita
Menjadi hina pemandangan mata

Hamba karangkan suatu madah
Ingat2 orang yang muda
Jikalau bukan ayah dan bundah
Hartanya jangan tuan permuda

Zaman sekarang suda termasa
Banyaklah tuan periksa
Jangan diselitkan sirih yang basa
Itupun memberi surat binasa

Ayu mas dewa kesuma
Bunga seroja kembang di lema
Surat nan jangan dipinjam lama
Empat hari hanya [kah] kelima

 

Gambar 2. PNRI KBG 185 Hikayat Candra Kirana, [hlm. 352] catatan tentang aturan peminjaman ditulis dalam Jawi.

Catatan semacam ini mencerminkan upaya untuk mendidik pelanggan tentang tata-tertib peminjaman pada masa munculnya perpustakaan persewaan naskah (taman bacaan), perpustakaan umum yang menumbuhkan kelompok pembaca di komunitas kampung. Walaupun catatan ini ditulis dalam Jawi dan Bahasa Melayu, teks utama ditulis dalam aksara Hanacaraka dan Bahasa Jawa (Gambar 2 dan 3). Aspek ini memberi kesan bahwa pembaca di Palembang pada kurun ke-19 mampu membaca kedua tulisan (Jawi dan Hanacaraka) dan kedua bahasa (Melayu dan Jawa), yang boleh jadi karena penyebaran naskah-naskah yang ditulis dalam kedua bahasa dan aksara tersebut keluar dari istana ke masyarakat biasa. Hal ini bisa menjelaskan bagaimana Jawa, bahasa resmi Kraton Palembang, bisa dibaca oleh pelanggan taman bacaan di kampung-kampung di Palembang pada kurun ke-19. Jadi meskipun penjarahan kolonial menyingkirkan banyak naskah perpustakaan istana, akibat yang tak terduga ialah penyebaran naskah-naskah ke masyarakat tempatan. Selanjutnya, apa dampak hal ini terhadap produksi pernaskahan di Palembang adalah sesuatu yang masih harus ditemukan. 

Gambar 3. Dua halaman awal manuskript KBG 185

Alan Darmawan adalah Peneliti Postdoctoral di SOAS University of London..

Footnotes

  1. Beberapa ejaan yang ganjil perlu penjelasan. Beberapa kata tidak ditutup dengan huruf ‘h’ pada akhirnya sebagaimana dipahami pembaca hari ini, antara lain pata (untuk patah), permuda (permudah), basa (basah), lema (Jawa: lemah untuk tanah), luda (ludah). Sedangkan kata bunda ditambahkan ‘h’ pada akhirnya seperti bundah. Sebuah ejaan yang ganjil seperti tituk untuk titik (tetesan cairan) bisa mencerminkan penggunaannya dalam konteks lokal. Lagi, suku kata atau partikel dalam kurung siku menunjukkan ia ada dalam teks asli tetapi bisa diabaikan untuk mendapatkan kata yang lebih jelas. Aturan peminjaman ini secara keseluruhan terdiri dari 13 bait (masing-masing empat baris). Selain itu, ada 2 bait lagi yang terdiri hanya dua baris tidak berima, tetapi nampaknya untuk memberikan penegasan dalam anjurannya kepada pembaca untuk menaati aturan peminjaman.
css.php